Tahukah Anda...?

Kehidupan berputar sangat cepat. Jika Anda tidak berhenti sejenak untuk menikmatinya, Anda bisa kehilangan arti kehidupan itu sendiri.

Takut akan kegagalan memberi semangat kepada saya untuk maju, dan membuat saya selalu siaga. Saya tidak akan berprestasi baik ketika saya merasa nyaman.

Jika kita mencoba melakukan yang lebih baik daripada yang kita pikir bisa kita lakukan, kita akan terkejut bahwa sebenarnya kita bisa melakukan hal itu.

Semua akhir adalah permulaan dari sesuatu. Hanya saja pada saat itu kita seringkali tidak menyadarinya.

Takut akan kegagalan seharusnya tidak menjadi alasanuntuk tidak mencoba sesuatu.

Kepemimpinan adalah Anda sendiri dan apa yang Anda lakukan.

Kamis, 05 November 2009

GEMURUH PERANG

Naskah Wayang Sandosa
GEMURUH
PERANG
Sugito HS

2008
Untuk menggunakan naskah ini, mohon menghubungi penulis.
Kontak : 08562856610. email : komunitas_slenk@yahoo.co.id
Naskah ini adalah buah inspirasi atas pembacaan Serat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV
Konsep pertunjukan Wayang ini sesungguhnya adalah imitasi dari konsep pertunjukan Wayang Sandosa dan Pakeliran Padat.
Kisah perang Baratayuda, bagian dari epos Mahabarata, bukan sesuatu yang baru, namun bukan sesuatu yang usang.
Tidak banyak sesuatu yang baru dalam naskah ini. Begitu juga tidak banyak hal yang baru dalam pementasan wayang kulit dengan naskah ini.
Tapi, yang kami-lakukan ini benar-benar prestasi baru.
Yakinlah!

Komunitas SUKA LELANGEN EDINING KABUDAYAN
url : http://paguyubanslenk.blogspot.com
email : komunitas_slenk@yahoo.co.id
Cp : Jali (08562856610) / Gito (085292990929)
INTRODUKSI
PERTEMUAN KARNA DENGAN KUNTHI DI TEPI SUNGAI
Lampu blencong menyala, menyinari kelir. Petikan siter dengan teknik mbalung bertempo lambat mulai terdengar. Disusul lantunan tembang Asmaradana vokal putri berirama ritmis. Sesekali terdengar suara seruling.
Kunthi muncul dari sisi kiri, berjalan pelan ke kanan, sesekali berhenti dan menikmati pemandangan alam di kanan-kiri jalan, berjalan lagi hingga tidak tampak. Terus begitu hingga tembang selesai. Dan, akhirnya termangu di tepi kelir sisi kiri.
Karna muncul dari belakang Kunthi. Berlalu begitu saja melewati sebelah tempat Kunthi berdiri. Tapi, seketika berhenti ketika sampai di tepi kelir sisi kanan, lalu menoleh, memandang Kunthi, hanya sejenak, lalu kembali berjalan pergi.
Tak lama Karna muncul dari sisi kanan. Berjalan mendekati Kunthi. Berhenti beberapa langkah di depan Kunthi. Kemudian, terjadi dialog.
01. KARNA
Maaf, bukankah Anda Dewi Kunthi?
02. KUNTHI
Ya, benar. (maju satu langkah dari tempat berdirinya semula) Kau mengenalku, tapi aku belum mengenalmu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?
03. KARNA
Belum. Tapi, saya sering melihat Anda di Astina maupun Amarta.
04. KUNTHI
Siapa namamu?
05. KARNA
Karna…, Basukarna.
06. KUNTHI
Basukarna…?!
07. KARNA
Ya. Emm, maaf, bolehkah saya memanggil Anda bibi?
08. KUNTHI
Ya. Tentu. Tentu saja boleh. Usiaku tentu tidak jauh berbeda dengan ibumu, jika kau anak pertama.
09. KARNA
Terima kasih. Emm, maaf, begini Bibi, kenapa Bibi Kunthi berada di tempat ini sendirian?
10. KUNTHI
Mencari angin. (berjalan maju melewati Karna) Sudah lama aku tidak memandang beningnya air sungai ini. Hitam bebatunya, hijau lelumutnya, warna-warni ikannya, sungguh tampak jelas. Sejelas kenanganku yang tersimpan rapat di tempat ini. Ya. Di sini. Tepi sungai ini.
11. KARNA
(berbalik) Emm, maaf, bukankah Bibi sudah tahu bahwa genderang isyarat perang antara Astina dan Amarta telah ditabuh?!
12. KUNTHI
Ya…. Dan aku sangat menyayangkannya. Mereka yang akan berhadapan di medan laga itu anak-anak dan keponakanmu sendiri. Kenapa harus ada perang saudara?! Dan, aku tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Mereka keras kepala. Itu yang paling kubenci dari sifat lelaki.
13. KARNA
Emm, sebaiknya Bibi saya antarkan pulang. Perang akan membuat tempat setenang dan seindah ini menjadi sangat bising dan menyeramkan. Bahkan membahayakan keselamatan siapapun dan apapun yang ada di sini.
14. KUNTHI
Terima kasih, eee…, maaf (berbalik menghadap Karna), siapa namamu tadi?
15. KARNA
Basukarna.
16. KUNTHI
Ya. Terima kasih Basukarna. Tapi, aku belum ingin pulang.
17. KARNA
Ada yang Bibi-tunggu?
18. KUNTHI
Ya. Ada.
19. KARNA
Maaf. Jika boleh tahu, Bibi sedang menunggu siapa?
20. KUNTHI
Kenangan. Aku sedang menunggu kenangan yang selalu sedia membawaku bertamasya ke masa lalu yang sangat indah sekaligus mengharukan, Karna. Sesuatu yang membuatku mampu menyungging senyum sekaligus meneteskan airmata.
21. KARNA
Tampaknya sangat berharga bagi Bibi.
22. KUNTHI
Ya. Sangat berharga. Bahkan tidak dapat digantikan oleh gunung emas sekalipun.
23. KARNA
Bibi Kunthi memendam kenangan di tempat ini. Ada yang sama. Tapi beda. Aku menanam harapan di tempat ini.
24. KUNTHI
Oh, ya? Harapan tentang apa yang kautanam di sini, Karna?
25. KARNA
(berjalan maju melewati Kunthi) Harapan bertemu dengan seseorang yang sekian lama kurindukan, Bibi. Aku sangat merindukannya. Bahkan hingga saat ini. Seandainya aku dapat benar-benar bertemu dengannya di sini, aku pasti akan memeluk tubuhnya dengan erat. Akan kucium tangannya, dan kutumpahkan seluruh rinduku yang nyaris membeku selama ini, Bibi.
26. KUNTHI
Apakah dia kekasihmu, Karna? Apakah kau sangat mencintainya?
27. KARNA
Ya, Bibi. Dia kekasihku. Aku sangat mencintainya, Bibi.
28. KUNTHI
Sejak kapan kalian berpisah?
29. KARNA
Tiga puluh delapan tahun yang lalu.
30. KUNTHI
Jangan bergurau, Karna. usiamu saja sekarang pasti belum genap empat puluh tahun. Mana mungkin kau sudah punya kekasih selagi masih bayi?
31. KARNA
Dia, kekasih yang kurindukan itu, adalah ibuku, Bibi. Kata ayah angkatku, dia meninggalkan aku, tiga puluh delapan lalu, ketika aku masih bayi merah, di tepi sungai ini.
32. KUNTHI
Oh! Jadi, yang kaumaksud kekasih itu ibumu? Lalu, kenapa tadi kau bilang “kata ayah angkatku”? Apakah ayah kandungmu juga pergi?
33. KARNA
Entahlah, Bibi. Aku tidak tahu. Hingga kini aku hanya punya ayah angkat. Eee…, maaf, kenapa jadi aku yang banyak cerita? Oh, ya! Bagaimana dengan kenangan Bibi di tempat ini?
34. KUNTHI
Ya. Hampir sama. Aku berpisah dengan kekasihku di tempat ini. Dia anak pertamaku. Anak buah cintaku dengan Surya, lelaki yang kucintai sebelum aku dinikahi Pandhu Dewayana.
35. KARNA
Surya?! Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
36. KUNTHI
Memang sama. Kami juga berpisah tiga puluh delapan tahun yang lalu. Di sini, di tempat ini aku menitipkan bayiku itu kepada seorang kusir.
37. KARNA
Kusir?! Kenapa banyak kesamaannya…?! Ayah angkatku juga seorang kusir.
38. KUNTHI
Benarkah…?! Siapa nama ayah-angkatmu, Karna? Katakan, Karna?! Siapa namanya?!
39. KARNA
E..e..e…, mungkinkah Bibi…, e..e..e….
40. KUNTHI
Ayo katakan, Karna! Siapa nama ayah angkatmu itu?! Apakah namanya…, nama ayah-angkatmu… Adi…, Adi….
41. KUNTHI & KARNA
Adirata…!!!
Seketika suasana hening.
42. KUNTHI
Ohhh…, anakku…! Karna! Kau anakku, Karna…! (mendekat)
43. KARNA
Ibu…! Bibi Kunthi ibuku?! Oh, Tuhan! Benarkah ini?! Mimpikah aku?! (mundur)
44. KUNTHI
Bukan, Karna. Ini bukan mimpi. Jika memang benar selama ini kau dibesarkan oleh Adirata, kau memang anakku. Kau putra Surya.
45. KARNA
Surya?! Putra Surya?! Ya. Aku ingat! Ayah-angkatku sering memanggilku dengan sebutan “Putra Surya”. Benarkah aku anak Surya?! (maju)
46. KUNTHI
Ya. Kau Suryatmaja, Karna. Kau anak Surya. Anakku! Kau anak kami, Basukarna!
47. KARNA
Oh, Ibu…! Ibu…! Aku tidak percaya ini…. Tidak mungkin…! Aku tak sanggup memelukmu…. (mendekat)
48. KUNTHI
Oh, Karna! Anakku! Maafkan ibu, Nak…. Oh, aku tak pantas memelukmu…. Oh, Tuhan…. (mendekat)
Mereka berpelukan.
Terdengar suara rebab dan biola, menyayat.
Suasana haru ini berlangsung lama.
49. KUNTHI
Karna, mari kita pulang ke Amarta. Sekarang kau, anakku yang hilang, telang kembali pulang. Ayo, Nak. Kita pulang ke Amarta. Bantulah adik-adikmu, para putra Pandhu melawan keangkaraan para putra Drestarastra. Mari, Nak.
50. KARNA
(melepaskan pelukan) Maaf, Ibu. Sejak bayi aku dibesarkan oleh Adirata. Aku makan dan minum dari bumi dan langit Astina. Aku prajurit Astina. Aku harus berperang untuk Astina.
51. KUNTHI
Apakah kau tega berhadapan dengan saudaramu sendiri, Nak?!
52. KARNA
Kamus perang tidak mengenal kata “tega” dan “tidak tega”, Ibu. Prajurit hanya tahu arti kata “berani”! Tidak yang lain!
53. KUNTHI
Tapi, kau akan berperang dengan saudaramu sendiri, Karna.
54. KARNA
Di palagan tidak ada kata “saudara”, Ibu. Palagan hanya mengenal kata “kawan” dan “musuh”. Meskipun saudara, jika bukan kawan berarti dia musuh.
55. KUNTHI
Kau sungguh tidak mengerti perasaan seorang Ibu yang takut kehilangan anaknya, Karna!
56. KARNA
Jika Ibu mengakui Basukarna sebagai anakmu, maka ketahuilah, Ibu. Basukarna adalah lelaki. Dan, anak lelakimu ini adalah prajurit. Jangan pernah meneteskan airmata atas kepergian seorang prajurit ke medan perang!
Pause.
Suara rebab menyayat kembali terdengar.
Wayang Kunthi dan Karna dijauhkan dari kelir, didekatkan ke blencong, sehingga bayangannya semakin besar dan kabur, lalu hilang. Kayon dimunculkan dekat dengan blencong sehingga bayangannya memenuhi kelir.
Seluruh pemain melantunkan lagu Sorak-sorak Pelog Lima diiringi semua instrumen.
Narasi:
Ada yang telah meniup terompet kerang.
Ada yang telah menabuh genderang.
Ya. Gemuruh itupun telah terdengar.
Panji-panji keakuan telah dikibarkan.
Pasukan telah diberangkatkan.
Gemuruh itu semakin jelas terdengar.
Astina dan Amarta bukan lagi tetangga.
Korawa dan Pandawa bukan lagi saudara.
Tak ada lagi bahasa kata.
Hanya ada bahasa pedang, panah, dan gada.
Darah membanjir di Kurusetra.
Tak ada harum bunga.
Tinggal anyir yang tersisa.
Debu membumbung di Kurusetra.
Tak ada segar udara.
Tinggal perih dan sesak yang terasa.
Kalah dan menang telah kehilangan makna.
Gemuruh perang terus saja membahana.
Gemuruh perang ada di mana-mana.
Gemuruh perang tak hanya ada di Kurusetra.
Gemuruh perang juga terdengar dari dalam dada Duryodana.
(wayang tokoh Duryodana ditampilkan seolah gelisah, mengalami perang batin yang dahsyat)
Gugurnya Bisma, Bogadenta, Jayadrata, Guru Drona,
juga kematian anaknya, Laksmana,
telah membuatnya limbung.
Akankah perang masih saja diteruskan?
Berapa banyak lagi yang akan dikorbankan?
Ya! Perang tak berkesudahan ada di dalam dada Duryodana,
sang Penguasa Astina.
BABAK I
DURYODANA MENGANGKAT KARNA MENJADI PANGLIMA
Duryodana muncul mundur dari sisi kiri. Gelagatnya tampak gelisah. Mukanya murung.
Karna datang dari sisi kanan. Melihat Duryodana yang berdiri membelakanginya dan tampak sedang melamun, Karna diam sejenak, lalu menunjukkan sikap gusar. Kemudian Karna memulai dialog.
01. KARNA
Duryodana. Kau memanggilku? Duryodana! Duryodana!!
02. DURYODANA
Oh. Kakak. Silahkan, Kak. Maaf, aku sedang….
03. KARNA
Sudahlah! Aku tahu. Dan, sekarang aku sudah ada di hadapanmu. Apa yang akan kauperintahkan kepadaku?
04. DURYODANA
Rasanya aku sudah tidak punya kekuatan lagi, Kak. Begitu juga untuk memberi perintah apapun kepadamu.
05. KARNA
Apa gerangan yang membuatmu kehilangan kekuatan, Duryodana? Perang memang selalu meminta korban. Sampai kapan kau akan menyesali kematian anakmu, Laksmana, atau gugurnya adikmu, Dursasana dan Bogadenta?! Apakah kau sudah benar-benar siap kehilangan tahta Astina?! Atau kau sudah siap menjadi budak di Amarta?! Aku masih ada bersamamu, Duryodana.
06. DURYODANA
Tapi….
07. KARNA
Tapi apa?! Kau mulai didera rasa takut?!
08. DURYODANA
Tidak….
09. KARNA
Lalu apa yang membuat pundakmu miring sebelah?!
10. DURYODANA
Aku tidak ingin ada keluargaku yang menjadi korban lagi.
11. KARNA
Dan karena itu kau akan menyerah begitu saja?! Kau akan membiarkan darah yang mengucur dari tubuh Eyang Bisma dan Guru Drona itu sia-sia?! Oh, betapa kecewanya mereka di sana….
12. DURYODANA
Tidak! Aku pasti membalas atas kematian mereka. Aku pasti akan meminum darah pembunuh anakku! Aku akan memanggang tubuh pembunuh adikku!!
13. KARNA
Kau tidak akan pernah melakukan apapun, Duryodana. Kurusetra bukan tempat untuk saling membalas dendam! Salah jika maju ke medan laga berbekal amarah! Kau akan kalah! Kau harus berbekal keberanian! Kau harus yakin mendapatkan kemenangan!
14. DURYODANA
Sudah kubilang, aku bukan penakut!
15. KARNA
Kau memang bukan penakut. Tapi, nyalimu ciut! Sadarlah, Duryodana! Ini bukan hanya kepentingan keluarga, sehingga kau bersemangat untuk menang hanya karena keluargamu telah menjadi korban!
16. DURYODANA
Aku memang semakin bingung dengan perang ini. Aku semakin tidak tahu apakah harus menang atau kalah.
17. KARNA
Sudahlah! Perang ini belum usai. Dan, kita belum kalah Duryodana! Karena kita memang akan menang! Besok pagi, izinkan aku yang memimpin pasukan.
18. DURYODANA
Tunggu dulu, Kak!
19. KARNA
Menunggu apa lagi?!
20. DURYODANA
Sebaiknya jangan Kakak yang menjadi panglima besok pagi.
21. KARNA
Apa masalahnya? Apakah aku tidak sepadan dengan para perwira Astina yang telah gugur itu?! Katakan saja! Atau kau tidak yakin dengan kesetiaanku karena aku bukan saudara kandungmu? Karena aku hanya kakak angkatmu? Atau karena aku hanya kakak ipar istrimu?!
22. DURYODANA
Tidak, Kak. Bukan itu masalahnya. Tapi, bagaimana dengan Surtikanthi, istrimu?
23. KARNA
Oh, Duryodana…. Kenapa kausebut nama perempuan di saat kita sedang membicarakan masalah perang? Bicara perang berarti bicara keberanian, Duryodana. Keberanian hanya ada di dalam dada para lelaki! Untuk berani maju ke medan perang, aku tidak butuh izin istriku! Untuk berperang, aku hanya butuh keberanian! Itu saja!
24. DURYODANA
Tapi tidak sesederhana itu….
25. KARNA
Sudahlah! Medan perang tidak butuh orang yang pandai mengayunkan pedang. Tidak butuh orang yang terampil memainkan tombak. Karena medan perang bukan panggungnya para badut! Tak ada gunanya kuat mengangkat busur, cekatan melepaskan anak panah, bahkan tangguh menunggang kuda, jika yang dimiliki hanya rasa takut!
26. DURYODANA
Ya. Benar. Aku percaya dengan keberanianmu. Aku sangat berterimakasih atas kesetiaanmu. Tapi, bukankah kau belum pernah menjadi panglima perang sebesar ini sebelumnya?
27. KARNA
Jika pengalaman berperang itu menjamin kemenangan, tentu para perwira yang kauangkat menjadi panglima itu tidak akan tewas bersimbah darah di Kurusetra! Kurang apa dengan Eyang Bisma Dewabrata?! Siapa yang berani menyangsikan ketepatannya membidikkan anak panah?! Toh akhirnya kalah hanya oleh Srikandhi, prajurit wanita! Kurang apa dengan kepiawaian Guru Drona menyusun srategi? Toh akhirnya tewas hanya karena tipuan murahan Kresna!
28. DURYODANA
Baik. Jika begitu, apa yang harus kulakukan?!
29. KARNA
Ohhh, Duryodana…. Aku harus bilang apa lagi?! Kaurestui ataupun tidak, aku akan tetap berangkat ke medan perang melawan prajurit Amarta, karena aku prajurit Astina!
30. DURYODANA
Baiklah, Kak. Hari ini aku mengangkatmu menjadi panglima perang Astina. Pergilah ke padang Kurusetra. Dan, bawalah kemenangan untuk Duryodana. Sekarang, katakan siapa yang kaupercaya untuk menjadi kusir kereta perangmu?
31. KARNA
Aku butuh seorang kusir yang kesetiaannya pada Astina tidak diragukan lagi. Dia juga harus pemberani dan ahli perang.
32. DURYODANA
Menurutmu, siapa yang pantas menjadi kusir agung itu?
33. KARNA
Ayah.
34. DURYODANA
Maksudmu Paman Adirata?
35. KARNA
Bukan. Maksudku ayah mertua kita.
36. DURYODANA
Apa?! Aku tidak berani….
37. KARNA
Terbukti! Kau memang penakut!
38. DURYODANA
Apakah ayah Salya akan bersedia?
40. KARNA
Itu tugasmu!
(berbalik lalu pergi meninggalkan Duryodana sendirian)
Pause.
Wayang tokoh Duryodana diangkat menjauh dari kelir, mendekati blencong, lalu hilang.
Lagu Sorak-sorak dinyanyikan lagi.
Bayangan kayon muncul memenuhi kelir lagi. Wayang tokoh Arjuna ditampilkan gelisah.
Narasi:
Genderang perang kian keras terdengar.
Anyir telah menenggelamkan Kurusetra.
Sesak kian menghunjam dada.
Perang tidak juga berkesudahan.
Perang juga berkecamuk di dalam dada Arjuna
Kematian Irawan masih menyisakan airmata.
Gugurnya Abimanyu makin membuat hatinya luluh.
Tak ada lagi ambisi.
Keputus-asaanlah yang kini menguasai.
Gemuruh perang makin seru saja.
Ya. Pertempuran sengit telah terjadi di dalam dada Arjuna,
sang Panglima Amarta.
BABAK II
ARJUNA MENGUTARAKAN KEBIMBANGANNYA KEPADA KRESNA
Arjuna muncul dari sisi kiri berjalan ke tengah, tampak menunduk, memikirkan sesuatu.
Kresna mengikutinya dari belakang, tampak gusar. Kemudian mengawali dialog.
01. KRESNA
Apa lagi yang kaupikirkan, Adikku?
02. ARJUNA
Apa lagi kalau bukan perang ini, Kak.
03. KRESNA
Bagus! Memang begitulah seharusnya. Kau seorang panglima di Amarta. Tugasmu memang harus memikirkan hal itu. Mencari cara, strategi, taktik, atau apapun istilahnya, untuk memenangkan pertempuran.
04. ARJUNA
Kak! Apa pentingnya memenangkan pertempuran bagimu?
05. KRESNA
Kau bertanya kepadaku, Arjuna?!
06. ARJUNA
Ya! Apa pentingnya menang dalam perang ini?!
07. KRESNA
Hahaha…. Kalimatmu menggelikan, Arjuna. Jika saja ini perangku, pastilah pertanyaanmu akan kujawab dengan tegas. Tapi, ini perangmu, Arjuna!
08. ARJUNA
Aku tidak akan mau ikut bertanggungjawab atas semua akibat dari terjadinya perang ini. Dan, aku sudah tidak ingin banyak terlibat lagi.
09. KRESNA
Hahaha…. Arjuna…, Arjuna. Aku tidak menyangka, ternyata kau juga bisa bercanda. Hahaha….
10. ARJUNA
Aku tidak sedang ingin bercanda, Kak.
11. KRESNA
Lalu, bagaimana kau bisa mengatakan tidak ikut bertanggungjawab atas perang ini?! Amarta adalah milikmu; milik kalian para putra Pandhu. Amarta bukan milikku. Semua orang tahu, yang menjadi panglima Amarta itu Arjuna. Bukan Kresna! Hahaha…, kau masih ingin bilang tidak bercanda?!
12. ARJUNA
Aku tidak menginginkan perang ini.
13. KRESNA
Oh, ya? Apa alasanmu?
14. ARJUNA
Perdamaian lebih baik daripada permusuhan.
15. KRESNA
Kau yakin itu? Hahaha…, aku tidak yakin kau memahami kata-katamu sendiri, Arjuna. Tanganmu sudah terlanjur berlumuran darah para perwira Astina. Dan, sekarang kaubilang perdamaian lebih baik.
16. ARJUNA
Aku menyesal, Kak. Aku menyesal telah menuruti ambisi saudara-saudaraku. Aku menyesal telah tega membunuh mereka, pemuda-pemuda belia, yang diperalat oleh para pemburu kekuasaan.
17. KRESNA
Hahaha…. Arjuna. Aku turut sedih. Sedih mendengar penyesalan seseorang yang tidak bersikap ksatriya.
18. ARJUNA
Apa arti sikap ksatriya, Kak?! Apakah dengan berani maju ke medan laga itu berarti ksatriya?! Apakah jika tidak merasa berdosa membunuh siapapun yang dianggap musuh itu sikap ksatriya?! Apakah pura-pura buta melihat penderitaan rakyat akibat perang itu ksatriya? Apakah pura-pura tuli mendengar jeritan anak dan istri mereka yang gugur di pabaratan itu ksatriya? Katakan padaku, Kak! Apa artinya ksatriya?!
19. KRESNA
Baiklah, Adikku. Sederhana saja. Sikap ksatriya adalah keberanian untuk mengakui kesalahan sendiri.
20. ARJUNA
Hanya itukah?!
21. KRESNA
Ya. Dalam hal ini, hanya itu. Dan sesederhana itu. Mengakui keterlibatanmu sebagai penyebab terjadinya perang, itu ksatriya. Menyalahkan saudara-saudaramu sebagai penyebabnya itu berarti kau pecundang, Arjuna. Mengakui bahwa di dalam dirimu juga ada ambisi untuk menguasai, itulah sikap ksatriya. Menuding orang lain sebagai pemburu kekuasaan, itu tabiat pecundang, Arjuna.
22. ARJUNA
Aku tidak peduli lagi apakah aku ksatriya atau bukan! Sekarang, aku hanya ingin perdamaian. Sudah terlampau banyak yang menjadi korban kekejian perang. Hanya demi nama besar, kekuasaan, tahta, dan sekeping kebanggaan, kita telah menafikan arti perdamaian, Kak.
23. KRESNA
Hahaha…, apa yang kautahu tentang perdamaian, Arjuna?
24. ARJUNA
Aku tahu dengan jelas!
25. KRESNA
Oh, ya?!
26. ARJUNA
Ya! Jika aku memilih perdamaian berarti Irawan masih hidup hingga saat ini! Dengan perdamaian, Abimanyu tidak akan pergi dengan ratusan anak panah yang menancap di tubuhnya! Dengan perdamaian, menantuku tidak akan melahirkan tanpa kehadiran suami di sampingnya! Dengan perdamaian, cucuku tidak akan lahir yatim, Kak!
27. KRESNA
Seka airmatamu itu, Arjuna! Lelaki pantang menangis!
28. ARJUNA
Teganya kau melarang seorang ayah menangisi kematian anaknya.
29. KRESNA
Setiap yang bernyawa pada akhirnya akan mati, Arjuna! Termasuk kita: kau dan aku! Bukan hanya anakmu! Kau tahu itu?!
30. ARJUNA
Sepertinya kau tidak pernah merasa punya anak, Kak!
31. KRESNA
Kalau hanya untuk menangisi kematian, kenapa tidak kautangisi kematianmu sendiri saja?!
32. ARJUNA
Haruskah aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu yang membuat hatiku semakin bimbang?!
33. KRESNA
Sudah kuduga. Kau memang sedang dikuasai oleh kebimbangan. Kau bingung memahami apa itu keberanian dan apa itu ketakutan! Kaugunakan istilah “berani berdamai” untuk mengganti istilah “takut berperang”, dan kauanggap itu sudah benar! Kaugunakan kata “kasihan” untuk mengganti kata “kejam”!
34. ARJUNA
Ahhh…, aku semakin bingung mendengarkanmu.
35. KRESNA
Tentu saja kau bingung. Karena kau menginginkan kebingungan itu. Lalu, kau akan berlindung di balik kebingungan itu agar kau tetap disebut pemberani, pahlawan, ksatriya! Padahal kau penakut, pengecut, pecundang!
36. ARJUNA
Aku menginginkan perdamaian, Kak! Hanya perdamaian! Titik!
37. KRESNA
Baik. Tapi, apakah jika Arjuna menginginkannya, itu berarti Duryodana juga bersedia?! Apakah jika Amarta menarik pasukannya, lalu Astina berhenti menyerang?! Apakah jika kau mengalah, Duryodana lantas mau menurunkan panji-panji perangnya?! Apakah jika kau memilih diam tidak melawan, lantas tidak akan ada korban yang berjatuhan?! Ayo! Sekarang jawab pertanyaanku, Arjuna!
38. ARJUNA
Ahhh…. Entahlah!
(pergi begitu saja dan Kresna segera mengejarnya)
Pause.
Lagu Sorak-sorak dinyanyikan lagi.
Bayangan kayon muncul memenuhi kelir lagi. Wayang tokoh Surtikanthi ditampilkan gelisah.
Karna datang menghampiri.
Terdengar tembang Asmaradana vokal pria.
BABAK III
ROMAN ANTARA KARNA DAN SURTIKANTHI
01. KARNA
Istriku…. Kekasihku…. Sayangku…. Pujaanku…. Hey, coba pandanglah suamimu ini. Tidakkah kau ingin memberiku kecupan mesra di kedua pipi sebelum lelaki tampan ini berangkat ke Kurusetra?
02. SURTIKANTHI
Aku tidak mau. Aku tidak mau jika akhirnya hanya akan menjadi kecupan terakhir.
03. KARNA
Hey, apa maksudmu Surtikanthi?
04. SURTIKANTHI
Bukankah kau akan pergi?!
05. KARNA
Oh, Surtikanthi. Kenapa kau tidak pandai memilih diksi?! Aku akan berangkat! Bukan pergi!
06. SURTIKANTHI
Apa bedanya?! Toh, kau juga akan meninggalkanku!
07. KARNA
Tidak, Sayang. Aku hanya akan berangkat berperang! Bukan pergi meninggalkanmu!
08. SURTIKANTHI
Kapan kau akan kembali? Kapan?! Kau pasti tak akan bisa menjawab.
09. KARNA
Tentu aku bisa menjawabnya! Aku akan pulang setelah perang usai. Dan, aku pasti pulang membawa kemenangan!
10. SURTIKANTHI
Bohong! Kau bohong!! (menangis)
11. KARNA
Hey, usap airmatamu! Aku tidak bohong Surtikanthi!
12. SURTIKANTHI
Kau bohong! Kau sudah tidak mencintaiku lagi! Silahkan pergi! Biarkan aku sendiri!
13. KARNA
Ayolah, Surtikanthi. Hentikan tangismu itu. Jika memang salah, katakan apa salahku! Jangan hanya membuatku merasa bersalah tanpa mengerti apa yang salah.
14. SURTIKANTHI
Aku tidak mau kau pergi.
15. KARNA
Apa artinya?! Kau tidak mengizinkan aku berangkat berperang?! Begitukah maksudmu?!
16. SURTIKANTHI
Kenapa harus berperang?
17. KARNA
Itu tugasku!
18. SURTIKANTHI
Memangnya apa jabatanmu, sehingga harus berperang?!
19. KARNA
Aku prajurit!
20. SURTIKANTHI
Apakah prajurit yang maju berperang harus menang?!
21. KARNA
Ya! Harus menang!
22. SURTIKANTHI
Apakah prajurit yang maju berperang pasti akan menang?!
Sontak, Karna membisu, lalu berpaling.
23. SURTIKANTHI
Ayo jawab! Apakah prajurit yang maju berperang pasti akan menang?! Kenapa tidak kaujawab! (tangisnya makin jelas)
Terdengar rebaban tlutur.
Disusul sulukan tlutur vokal pria
Ditingkahi tembang dhandanggula tlutur vokal putri
Karna dan Surtikanthi saling membelakangi. Mereka saling diam. Cukup lama.
24. KARNA
Surtikanthi. Maafkan aku. Ya. Maafkan aku, istriku. Maafkanlah suami.
(sepertinya juga sudah menangis)
25. SURTIKANTHI
Minta maaf atas apa? Kau sudah terlanjur memilih jalan prajurit. Dan, kau tampaknya sangat mencintai jalan itu. Mungkin melebihi cintamu padaku.
26. KARNA
Tidak! Tidak ada yang kucintai melebihi cintaku pada dirimu. Basukarna sangat mencintaimu Surtikanthi. Basukarna akan selalu mencintaimu sampai kapanpun. Yakinlah itu.
27. SURTIKANTHI
Aku benci kata-katamu. Aku benci kau mengatakan lagi kalimat itu. Aku benci kau mengatakannya saat akan meninggalkanku. Aku benci cintamu….
(mendekat dan akhirnya memeluk tubuh suaminya)
28. KARNA
Oh, Surtikanthi. Aku mencintaimu….
Adegan 17+ dimulai dari sekarang.
Terserah kreativitas Dhalang untuk memamerkan teknik bayangan yang luar biasa indah.
Hanya ada ilustrasi dari biola dan lirik tembang Gambuh yang samar terdengar selama adegan ini.
29. KARNA
Surtikanthi. Sekarang izinkan aku berangkat.
30. SURTIKANTHI
Kenakan dulu baju jirahmu.
Tokoh Karna dengan wayang Suryatmaja itu masuk ke sisi kiri diikuti istrinya. Sebentar kemudian muncul lagi dengan penampilan sebagai Adipati Basukarna.
31. SURTIKANTHI
Kau semakin tampan dan gagah dengan baju ini. (sudah bisa tersenyum)
32. KARNA
Kau juga semakin cantik dengan senyum itu. Izinkan aku berangkat sekarang. Doakan aku mendapat kemenangan.
33. SURTIKANTHI
Kau pasti akan menang. Karena, cintaku bersamamu.
34. KARNA
Aku mencintaimu….
(melepaskan pegangan tangan, mundur, dan hilang)
35. SURTIKANTHI
Aku juga sangat mencintaimu….
Pause.
Wayang Surtikanthi dijauhkan dari kelir, didekatkan ke blencong, sehingga bayangannya semakin besar dan kabur, lalu hilang. Kayon dimunculkan dekat dengan blencong sehingga bayangannya memenuhi kelir.
Lagu Sorak-sorak terdengar lagi.
BABAK IV
SALYA TIDAK BERKENAN MENJADI KUSIR KERETA KARNA
Salya tiba-tiba muncul dari sisi kiri dan bicara dengan nada kesal. Duryudana muncul di belakangnya.
01. SALYA
Kau sudah tidak waras, Duryodana! Sepertinya kau sudah tidak ingat bahwa aku ini mertuamu! Kalau memang Karna yang menginginkannya, suruh dia datang sendiri dan mengatakannya sendiri di hadapanku. Aku ingin melihat. Apakah dia juga sudah tidak punya adat seperti halnya dirimu?!
02. DURYODANA
Apa yang telah membuat Ayah marah?
03. SALYA
Bisa-bisanya kau bertanya seperti itu, Duryodana?!
04. DURYODANA
Apakah pekerjaan menjadi kusir itu hina?
05. SALYA
Apakah aku juga perlu menjawabnya?!
06. DURYODANA
Jika memang hina, kenapa dulu Ayah mau menjadi besan Paman Adirata?! Bukankah dia hanya seorang kusir?!
07. SALYA
Jangan samakan masalah ini dengan hal itu, Duryodana!
08. DURYODANA
Bukankah berdekatan dengan sesuatu yang hina pada akhirnya juga akan ikut hina?!
09. SALYA
Tutup mulutmu, Duryodana!!
10. DURYODANA
Katakan saja jika memang Ayah sudah kehilangan keberanian.
11. SALYA
Itu bukan watakku!
12. DURYODANA
Lalu apa penyebabnya, sehingga Ayah tidak mau mengusiri kereta perang Karna?
13. SALYA
Aku ingin aku sendiri yang menjadi panglima! Kau dengar itu?!
14. DURYODANA
Aku tidak mengerti dengan maksud Ayah.
15. SALYA
Burisrawa telah menjadi korban perang ambisi kalian! Kau masih ingin menanyakan alasan seorang ayah maju ke palagan?!
16. DURYODANA
Tak ada gunanya membahas mereka yang telah mati!
17. SALYA
Apa katamu?! Lancang kau, Duryodana!!
18. DURYODANA
Aku juga sudah kehilangan anak, Ayah. Bukan hanya anak. Tapi juga kakek, adik, dan guruku!
19. SALYA
Itu urusanmu! Kau yang menginginkan perang ini. Bukan aku! Dan, tidak seharusnya keluargaku ikut jadi korban!
20. DURYODANA
Apakah Ayah lupa bahwa Banowati, istriku, itu anakmu? Apakah Ayah lupa bahwa Surtikanthi, istri Karna, juga anakmu?!
21. SALYA
Apa kaitan masalah ini dengan mereka?!
22. DURYODANA
Ayah benar-benar sudah tidak peduli dengan keselamatan mereka?!
23. SALYA
Jangan asal bicara, Duryodana!!
24. DURYODANA
Dengan tidak mau mendampingi Karna di Kurusetra, berarti Ayah sudah tidak mau tahu dengan keselamatan kami dan kemenangan kami.
25. SALYA
Tidak ada yang tahu siapa yang akan menang atau justru kalah di medan perang! Termasuk aku! Salya bukan bukan Tuhan! Kau tahu itu!!
26. DURYODANA
Terserah apa kata Ayah! Tapi, mengertilah, Ayah. Kemenangan Karna adalah kemenangan Astina. Kemenangan Astina adalah kemuliaanku. Itu artinya, juga kemuliaan bagi anakmu, Banowati dan Surtikanthi!
(pergi meninggalkan Salya)
Salya tertunduk tak berdaya.
Pause.
Instrumentalia lagu Sorak-sorak terdengar lirih.
Narasi:
Ternyata perang memang selalu dimulai dan tak pernah kita tahu kapan akan usai.
Dalam diam, Salya menyaksikan kacaunya palagan. Bukan palagan Kurusetra. Palagan itu ada di dalam dada. Ya. Perang itu terjadi di dalam dada Salya.
BABAK V
KRESNA MENGINGATKAN SALYA
Salya muncul dari sisi kiri, berjalan cepat hingga hilang di sisi kanan. Muncul lagi dari sisi kiri, mendadak berhenti, tampak ragu, menoleh belakang, kembali melangkah, tapi kemudian berbalik dan berjalan ke sisi kiri.
Kresna muncul dari sisi kanan, memperhatikan Salya dari jauh, lalu mengejar dan berusaha menghentikannya. Kresna menyapa Salya dari belakang.
01. KRESNA
Paman! Paman Salya! Tunggu, Paman!
02. SALYA
Ada apa, Kresna?
03. KRESNA
Hey, seharusnya aku yang bertanya begitu kepadamu, Paman. Kenapa justru terbalik?!
04. SALYA
Kau yang memanggilku. Tentunya kau juga yang membutuhkanku. Salahkah jika aku menanyakan keperluanmu?
05. KRESNA
Hahaha…, benarkah yang baru kudengar tadi kalimat milik pamanku yang tampan dan baik hati?
06. SALYA
Aku tidak punya banyak waktu untuk bercanda, Kresna.
07. KRESNA
Baik. Aku juga sedang tidak berselera untuk itu. Dan, sekarang izinkan aku bertanya, Paman?
08. SALYA
Tentang apa?
09. KRESNA
Hey…, tampaknya Paman juga sedang tidak bergairah untuk mendengar pertanyaan.
10. SALYA
Katakan saja pertanyaanmu. Gurauanmu sudah basi.
11. KRESNA
Oh! Hahaha…, ayolah, Paman. Mana mungkin rembulan tampak indah jika tertutup awan hitam?!
12. SALYA
Ini siang hari, Kresna! Rembulan yang mana yang kaumaksudkan?!
13. KRESNA
Oh! Apakah aku tadi bicara tentang rembulan? Bukan. Bukan rembulan, Paman. Aku bicara tentang wajah….
14. SALYA
Maksudmu wajahku?!
15. KRESNA
Aku tidak bilang begitu.
16. SALYA
Lantas wajah siapa?! Di sini hanya ada kita!
17. KRESNA
Emm…, wajah…, wajah rembulan. Eit, maaf. Bukan. Maksudku…, wajah Paman. Ya, wajahmu, Paman. Tepat sekali. Wajah Paman Salya.
18. SALYA
Ahh…. Aku ingin bertanya kepadamu, Kresna.
19. KRESNA
Oh, ya? Bukankah sejak tadi Paman terus saja bertanya dan aku sesekali menjawabnya?
20. SALYA
Ini pertanyaan yang ada kaitannya dengan wajahku yang sekarang murung.
21. KRESNA
Oh, ya? Paman sedang murung? Rupanya dari tadi Paman murung. Kenapa baru bilang?
22. SALYA
Cukup bercandanya, Kresna!
23. KRESNA
Baik. Kalau begitu, katakanlah Paman. Apa yang membuat dahimu berkerut?
24. SALYA
Menurutmu, apa kewajiban menantu kepada mertua!
25. KRESNA
Hey, kenapa Paman bertanya tentang hal itu? Atau jangan-jangan Paman ingin menikah lagi.
26. SALYA
Jawab saja pertanyaanku. Atau silahkan pergi saja jika mau.
27. KRESNA
Baik. Aku pergi sekarang. Sampai jumpa….
28. SALYA
Tunggu! Tunggu dulu, Kresna….
29. KRESNA
Ada apa lagi, Paman? Kelihatannya Paman sedang ingin sendiri. Daripada mengganggu, sebaiknya aku pergi saja.
30. SALYA
Tidak. Aku ingin ditemani. Bantulah aku, Kresna. Kumohon, jawablah pertanyaanku tadi.
31. KRESNA
Baik. Menurutku kewajiban seorang menantu yang paling utama adalah berbakti dengan tulus kepada mertua sebagaimana mertua juga mengasihinya dengan tulus. Terbukti, anak yang dicintai, begitu saja diserahkan kepada orang yang bukan saudara ataupun tetangga yang jelas dikenal. Begitu tulusnya kepercayaan seseorang yang disebut mertua kepada seseorang yang baru dikenalnya, yang disebut menantu. Itu jawabanku, Paman. Bagaimana menurutmu?
32. SALYA
Aku belum merasakan hal itu.
33. KRESNA
Maksud Paman?!
34. SALYA
Sebagai orang yang sudah tua dan menjadi mertua, aku belum merasakan tulusnya bakti seorang menantu, sekalipun. Meski aku sudah memiliki tiga menantu.
35. KRESNA
Oh, maaf. Ini masalah keluarga Paman. Aku tidak berhak ikut campur. Aku mohon diri, Paman….
36. SALYA
Tunggu dulu, Kresna! Aku masih akan menanyakan sesuatu. Tunggu….
37. KRESNA
Jika masih tentang menantu, aku tidak mau.
38. SALYA
Bukan. Ini hal lain. Sungguh. Bukan tentang menantu, Kresna.
39. KRESNA
Tentang apa, Paman?
40. SALYA
Ahh…, begini, Kresna. Menurutmu, pantaskah aku menjadi kusir?
41. KRESNA
Menjadi kusir?!
42. SALYA
Ya. Menjadi kusir kereta.
43. KRESNA
Aneh. Pertanyaan yang aneh. Mengapa Paman baru menanyakannya sekarang? Sungguh sudah terlambat.
44. SALYA
Terlambat?! Apa maksudmu?
45. KRESNA
Ya. Terlambat. Maaf, Paman. Bukankah sejak menikahi Bibi Setyawati, berarti Paman Salya telah menjadi kusir? Paman menjadi kusir yang mengendalikan jalannya kereta rumah tangga yang ditumpangi Bibi Setyawati. Bukankah sejak dinobatkan sebagai pemimpin di Mandaraka, Paman adalah kusir? Paman Salya adalah kusir yang bertanggungjawab penuh terhadap jalannya kereta pemerintahan di Mandaraka. Kenapa baru menyadari sekarang?
46. SALYA
Bukan itu. Maksudku bukan itu, Kresna. Ini kusir yang sebenarnya. Pantaskah aku menjadi kusir kereta? Kusir kereta perang?!
47. KRESNA
Oh, ya? Siapa yang menyuruh Paman menjadi kusir kereta perang?
48. SALYA
Duryodana. Menantuku satu-satunya yang paling kaya dan paling mulia itu!
49. KRESNA
Oh! Lalu siapa yang akan menggunakan kereta perang itu?
50. SALYA
Basukarna. Menantuku satu-satunya yang paling gagah dan paling tampan di dunia itu!
51. KRESNA
Hahaha…, kenapa Paman membohongiku?
52. SALYA
Aku tidak bohong, Kresna! Duryodana memang memintaku menjadi kusir kereta perang Basukarna yang sudah diangkatnya menjadi panglima Astina!
53. KRESNA
Bukan itu maksudku, Paman. Tapi, ternyata Paman masih bertanya tentang hal yang berhubungan dengan menantu dan mertua. Maaf, sekali lagi, aku tidak berhak ikut campur, Paman.
54. SALYA
Tapi, Kresna. Kumohon jangan pergi dulu. Jawab dulu pertanyaanku yang terakhir!
55. KRESNA
Siapa yang akan pergi, Paman? Aku masih di sini. Tenanglah.
56. SALYA
Terus terang aku bingung, Kresna.
57. KRESNA
Menurutku, sebenarnya Paman tidak sedang bingung. Paman hanya terlalu lama berpikir, menimbang-nimbang mana yang harus dipilih, sehingga membingungkan diri sendiri.
58. SALYA
Memilih apa Kresna?! Aku tidak sedang memilih!
59. KRESNA
Maafkan jika aku lancang. Daripada bertele-tele, lebih baik kujelaskan saja. Begini, Paman. Jujurlah! Bukankah Paman sangat ingin membalas kematian Burisrawa, putra bungsumu? Bukankah Paman sesungguhnya juga khawatir dengan masa depan Banowati jika Duryodana kalah? Dan bukankah Paman juga sama khawatir terhadap Surtikanthi jika akhirnya Basukarna gugur di pabaratan?!
60. SALYA
Bagaimana kau bisa tahu?!
61. KRESNA
Itu tidak penting, Paman. Yang penting, Paman harus bangga bahwa Burisrawa telah gugur sebagai pahlawan. Dia korbankan nyawa untuk melindungi keluarganya: kakak kandung dan kakak iparnya. Pantaskah disesali?! Sekarang Basukarna akan maju menjadi panglima. Jika Paman tidak mau menjadi kusirnya, berarti sudah rela Surtikanthi menjadi janda.
62. SALYA
Dia bukan anak kecil yang harus selalu dijaga. Apalagi oleh mertuanya!
63. KRESNA
Ingat, Paman. Kekuatan Astina tinggal bergantung pada Basukarna dan Paman sendiri. Jika kalian sudah tidak bisa disatukan, ini isyarat bahwa Astina akan kalah. Satu lagi, Paman. Kemenangan Astina berarti juga kemuliaan bagi putrimu!
(lalu pergi begitu saja meninggalkan Salya)
Pause.
Wayang tokoh Salya dijauhkan dari kelir, didekatkan ke blencong, sehingga bayangannya semakin besar dan kabur, lalu hilang.
Kayon dimunculkan dekat dengan blencong sehingga bayangannya memenuhi kelir.
Lagu Sorak-sorak terdengar lagi.
Lalu muncul Kunthi tertunduk lemah di tengah. Muncul bayangan besar dan kabur Karna dan Arjuna berhadapan.
Petikan siter liar terdengar.
Narasi:
Dari dada seorang wanita pun keras terdengar gemuruh perang. Dari mata bening wanita tua pun jelas nampak betapa sengitnya pertempuran. Kunthi bukan hanya menyaksikan. Kunthi bahkan sedang berperang. Ya. Berperang dengan dirinya sendiri. Entah kapan perang itu akan usai….
Mungkin segera datang waktunya. Mungkin juga tak akan pernah tiba.
Karena perang hanya selalu bermula dan akan terus ada.
BABAK VI
KARNA, KUNTHI, DAN ARJUNA BERTEMU
Kunthi muncul dari sisi kiri dan berhenti tepat di tengah.
01. KUNTHI
Oh, perang! Mengapa kau harus ada? Mengapa harus kaulibatkan anakku?! Mengapa harus ada yang kalah dan menang? Kau tahu, di kedua sudut itu ada anakku! Keduanya anakku! Jika aku menginginkan keduanya menang, apakah kau dapat membantuku?! Oh, Tuhan!
Karna datang dari sisi kanan.
02. KARNA
Ibu, aku datang untuk meminta restumu. Restuilah anak lelakimu. Aku maju ke medan perang untuk menunaikan kewajiban mulia. Kau harus bangga, Ibu.
03. KUNTHI
(menangis) Ya. Ibu, bangga, Karna.
Arjuna datang dari sisi kiri.
04. ARJUNA
Ibu, putramu datang memohon restu. Restuilah Arjuna maju ke medan laga.
05. KUNTHI
Oh, Arjuna. Kau tahu siapa yang ada di depan Ibumu ini, Nak?
06. ARJUNA
Ya. Aku mengenalnya. Dia putra Paman Adirata.
07. KUNTHI
Bukan, Arjuna!
08. KARNA
Ya. Aku memang bukan hanya putra Adirata, Arjuna. Aku Basukarna, panglima Astina.
09. KUNTHI
Dia kakakmu, Arjuna!
10. KARNA
Bukan, Arjuna! Aku musuhmu! Karena kau panglima Amarta
11. KUNTHI
Bukan, Arjuna! Dia saudaramu! Basukarna anakku dengan Surya. Kalian saudara!
12. ARJUNA
Mimpi apa lagi aku ini?!
13. KARNA
Aku mohon diri, Ibu. Kutunggu kau di Kurusetra, Arjuna.
(pergi)
14. KUNTHI
Tunggu, Karna…. Urungkan perang ini, Nak…. Karna! Kau dengar Ibu?! Oh, Tuhan….
15. ARJUNA
Aku juga mohon diri, Ibu. Doakan aku….
16. KUNTHI
Tunggu dulu, Arjuna! Yang kukatakan tadi benar, Nak. Dia kakakmu! Batalkan niatmu untuk saling membunuh!
17. ARJUNA
Andai saja aku boleh memilih itu….
(pergi)
Kunthi terpaku mematung.
Kesedihan yang mencekam itupun datang.
Di atas, bayangan Arjuna berhadapan dengan Karna.
Sulukan tlutur kembali terdengar.
18. ARJUNA
Mari kita selesaikan perang ini.
19. KARNA
Bersiaplah menerima kekalahanmu, Arjuna!
Terdengar suara jeritan rebab dan biola.
Bayangan Karna dan Arjuna hilang.
Tak lama kemudian ada kelebat anak panah yang mengarah ke sisi kanan.
Karna muncul dari sisi kanan dengan anak panah tepat menancap di jantungnya.
20. KARNA
Akhhh…. , Ibu! Aku menang, Ibu. Aku telah berhasil menjadi prajurit! Kau harus bangga, Ibu!
(jatuh gugur)
Arjuna muncul dari sisi kiri. Tertunduk sedih.
21. ARJUNA
Maafkan aku, Ibu! Aku telah kalah. Aku kalah melawan ambisi sendiri. Maafkan aku, Basukarna!
Kunthi berbalik dan kembali terpaku.
TAMAT
Meskipun gemuruh belum juga reda.
Meskipun perang masih terus ada.

Tidak ada komentar: